[Esai Juara I Lomba Hardiknas 2021] : "Sekolah dan Orang Tua Bergandeng Tangan, Anak Bijak Bermedia Sosial"

kupuku.id 20 Juni 2021
img

Ditulis oleh : Christophora Anung Anindita 

Pandemi Covid-19 belum usai. Pemerintah masih terus mengampanyekan kepada masyarakat agar lebih sering berkegiatan di dalam rumah untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Situasi tersebut memaksa segala bentuk aktivitas seperti pekerjaan dan pendidikan dilaksanakan di rumah. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Mereka menjadi lebih sering menggunakan gawai sebagai sarana pembelajaran, bermedia sosial untuk berkomunikasi dengan teman serta menghilangkan kebosanan. Penggunaan media sosial oleh anak di tengah pandemi ini tentunya menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Oleh karena itu kerja sama antara sekolah dan orang tua dalam mendampingi anak sangat diperlukan untuk meminimalisir dampak negatif yang memungkinkan terjadi ketika anak mengakses media sosial di tengah pandemi Covid-19.


Sejarah media sosial sesuai yang dilansir oleh sains.kompas.com menyatakan bahwa media sosial bermula pada akhir abad ke-19. Titik awalnya adalah teknologi telegraf yang dikirimkan oleh Samuel Morse pada 1844. Meski begitu, banyak orang berpendapat bahwa telegraf tidak bisa masuk dalam terminologi media sosial karena tidak online. Sedangkan media sosial sendiri dianggap sebagai teknologi komunikasi yang berbasis internet. Karena itu, pertumbuhan internet pada 1970-an menjadi awal mula dari media sosial. 1978, media sosial pertama tercipta. Bentuknya adalah Bulletin Board System (BBS), sebuah platform yang mengumumkan pertemuan dan berbagi informasi dengan mengunggahnya di BBS. Ini menjadi tonggak komunitas virtual pertama dalam sejarah.


Dian Restu Agustina dalam blognya menuliskan bahwa We Are Social pada laporan terbarunya di tahun 2020 menyebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan sebesar 17% atau 25 juta pengguna. Jika total populasi Indonesia berjumlah 272,1 juta jiwa, ini artinya sekitar 64% dari penduduknya telah mengakses dunia maya. Disebutkan juga pada data, bahwa saat ini masyarakat Indonesia yang memiliki ponsel sebanyak 338,2 juta. Sementara, 160 juta diantaranya adalah pengguna aktif media sosial, atau meningkat sebanyak 10 juta orang dibanding tahun sebelumnya.


Adapun media sosial yang paling banyak disambangi pengguna internet Indonesia dari 5 urutan teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Twitter. Kelima media tersebut, memiliki kebijakan tersendiri dalam menentukan usia pengguna. Rata-rata mengharuskan pengguna berusia minimal 13 tahun untuk bisa membuat akun di sana. Di mana batasan usia ini dimaksudkan penyedia media di antaranya untuk membantu orang tua agar anaknya tidak terpapar hoaks yang sering wara-wiri di dunia maya. Juga, memproteksi anak yang belum mengerti cara menggunakan media sosial dengan baik dan benar. Ibarat pisau bermata dua, media sosial juga punya dua sisi. Selain ada manfaatnya, platform jejaring sosial, juga punya dampak negatif. Konten yang tidak terfilter, seperti hoaks, pornografi, komentar negatif, perundungan, ujaran kebencian, penipuan, hingga kasus penculikan anak banyak yang berawal dari media sosial.


Banyaknya aplikasi yang terus berkembang membuat masyarakat pada umumnya dan anak-anak pada khususnya kian sulit melepaskan diri dari "jerat" media sosial. Bahkan, sehari tanpa media sosial membuat banyak mereka merasa hampa. Itu karena media sosial sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan masa kini. Media sosial bahkan telah mempengaruhi perilaku, hubungan sosial, dan kesehatan mental penggunanya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tiba-tiba tak bisa mengakses media sosial dalam jangka waktu tertentu bisa menimbulkan kecemasan, kesepian, bahkan depresi. Banyak anak merasa takut menjadi kurang update terhadap informasi terkini, baik dalam lingkup pertemanan maupun lingkungan yang lebih luas. Ini menimbulkan perasaan ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya. Perasaan-perasaan inilah yang kemudian membuat banyak anak masuk dalam cengkeraman kecanduan media sosial.

Keterikatan terhadap media sosial semakin meningkat pada masa pandemi ini karena anak selalu terkoneksi dengan gawainya yang menjadi piranti pembelajaran jarak jauh.


Melihat fenomena tersebut sudah sepatutnya pihak sekolah dan orang tua bergandeng tangan mendampingi anak bijak dalam bermedia sosial. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendampingi anak supaya bijak menggunakan media sosial sejak dini adalah:


1. Interaksi positif
Adanya interaksi dengan berkomunikasi bersama anak menjadi salah satu kunci mendampingi anak. Anak akan merasa hangat jika guru dan orang tua mau terbuka mendiskusikan hal yang sedang viral. Sebagai guru dan orang tua tidak bisa hanya terpaku pada pemikirannya sendiri menghadapi kabar atau hal yang sedang banyak dibicarakan di media sosial. Perlu adanya interaksi positif dengan anak sehingga kita juga mengetahui penilaian dari sudut pandang anak. Anak juga menjadi berani terbuka dan mengutarakan pendapat sehingga tidak ada lagi kesan ‘kucing-kucingan’.


Saya sebagai guru pada saat pembelajaran selalu menyelipkan obrolan tentang hal yang sedang viral, tentunya harus dikaitkan dengan materi yang sedang diulas. Anak-anak di kelas lebih suka diajak berbicara tentang hal tersebut. Suasana menjadi tidak membosankan dan mereka lebih muda memahami bahwa antara pembelajaran dengan kejadian sehari-hari saling berkaitan.


2. Sekolah dan orang tua ‘melek’ digital
Saat ini sudah tidak masanya lagi istilah ‘yang tua, yang tahu segalanya’. Untuk urusan digital, jari-jari dan pemahaman anak dapat dikatakan lebih lincah dari orang tua. Mereka lebih berani mengutak-atik aplikasi sehingga mendapatkan hal baru. Sedangkan orang tua cenderung tidak berani mencoba hal baru. Saat ini sekolah (guru dan karyawan) harus berani untuk ‘melek’ digital. Artinya, jangan sampai tertinggal jauh dengan kelihaian anak-anak dalam menggunakan piranti digital terlebih media sosial. Sebagai orang tua dan guru pun tak perlu malu untuk bertanya pada anak-anak. Dengan senang hati anak-anak pasti akan terbuka berbagi cara dalam menggunakan media sosial. Hal ini akan memberikan rasa percaya diri pada anak bahwa kemampuan mereka dalam bermedia sosial diakui oleh orang tua dan gurunya. Jika sudah ‘melek’ digital kita dapat mengikuti media sosial yang dimiliki anak-anak. Hal ini dapat membantu kita mengetahui kegiatan mereka dalam bermedia sosial.


3. Kesepakatan bersama
Jika dituruti, tidak akan pernah ada kata berhenti untuk bermedia sosial. Antara guru, orang tua dan anak harus ada kesepakatan bersama tentang waktu menggunakan media sosial. Jangan sampai yang arahan tentang disiplin menggunakan gawai dan media sosial yang disampaikan guru di sekolah tidak mendapat kesepakatan orang tua di rumah. Artinya anak di rumah mendapat keleluasaan dalam menggunakan gawai dan media sosialnya. Adanya kesepakatan ini juga dapat membantu anak memanajemen waktu, disiplin diri, serta memupuk rasa tanggung jawab.


4. Beri apresiasi
Memberikan apresiasi terhadap hal baik yang sudah dilakukan anak dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak. Misalnya, kita memberikan apresiasi atas kedisiplinan anak dalam memanajemen waktu bermedia sosial. Kegiatan anak dalam mengakses media sosial yang sesuai dengan usianya juga dapat kita apresiasi. Selain anak semakin percaya diri dan bertanggung jawab, apresiasi yang kita berikan dapat membuat anak semakin bijak dalam bermedia sosial.

5. Sekolah dan orang tua adalah teladan
Sebagai orang tua, guru, dan karyawan di sekolah tidak dapat selalu meminta dan menyuruh anak bijak terhadap media sosialnya. Orang tua, guru, dan karyawan sekolah harus bisa menjadi contoh baik bagi anak-anak. Jika kita meminta anak untuk memanajemen waktu bermedia sosial, sebaiknya kita pun tidak menghabiskan waktu dengan media sosial. Saat berkendara, makan, atau sedang bercakap-cakap sebaiknya kita tidak sibuk dengan media sosial.


Sebagai guru dan orang tua, saya aktif dalam bermedia sosial. Unggahan yang saya sampaikan di media sosial selalu memberikan inspirasi dan motivasi untuk orang lain. Tujuan lain dari bentuk unggahan itu adalah saya ingin menunjukkan pada anak serta murid bahwa apa yang kita unggah di media sosial harus memberikan pengaruh baik pada orang lain. Dengan menjadi teladan baik, diharapkan anak-anak dapat lebih bijak dalam bermedia sosial.


Media sosial ibarat mall dengan puluhan etalase yang membuat ‘lapar mata’ dan tersesat jika tanpa pengawasan serta pendampingan orang tua dan pihak sekolah. Media sosial merupakan tantangan sendiri dalam proses pengasuhan di era digital ini. Perkembangan teknologi informasi memberikan tugas baru bagi orang tua dan pihak sekolah untuk mendampingi anak dalam menggunakan media sosial sendiri karena banyak sekali konsekuensi yang harus dipertimbangkan para orang tua dan pihak sekolah dari media sosial yang digunakan anak-anak. Informasi dan role model yang salah dari media sosial berisiko mengganggu proses tumbuh kembang dan pembentukan kepribadian anak-anak kita. Meski di balik konsekuensi yang akan diterima, terdapat banyak manfaat yang akan didapat. Jika sekolah dan orang tua bergandeng tangan membimbing serta mengarahkan anak bermedia sosial secara bijak maka manfaat baik dari media sosial akan diperoleh anak.

Referensi:
https://www.dianrestuagustina.com/2020/07/cara-bijak-mendampingi-anak-bermedia-sosial.html


https://tirto.id/9-tips-mendampingi-anak-dan-remaja-saat-bermediasosial-fNf9

https://sains.kompas.com/read/2019/05/23/220400623/penemuan-yang-mengubah-dunia--media-sosial-kenapa-bikin-panik-saat-diblokir-?page=all#:~:text=Sejarah%20media%20sosial%20bermula%20pada,oleh%20Samuel%20Morse%20pada%201844.&text=Sedangkan%20media%20sosial%20sendiri%20dianggap,awal%20mula%20dari%20media%20sosial.

 

 

Bagikan ke teman kamu

KUPUKU INDONESIA