Serial Praktik Baik Pendidikan Karakter Part I "Mendidik Generasi Zaman Now"

kupuku.id 19 Oktober 2021
img
“Kesadaran dan pemahaman kita akan konsep manusia yang utuh akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap diri kita sendiri dan orang lain, termasuk cara pandang kita pada anak-anak” -Ifa Hanifah Misbach, S. Psi., M. A. Psikolog 

Halo, Sobat Kupuku! Jumpa kembali pada Serial Praktik Baik Pendidikan Karakter Bersama Doni Koesoema A.: Mendidik Karakter Generasi Zaman Now Part 1 “Membentuk Karakter Melalui Pendekatan Personal (Cura Personalis)”. Terima kasih kepada 400+ peserta dari Sabang sampai Merauke yang telah mengikuti talk show pada hari Sabtu, 16 Oktober 2021 kemarin. Antusiasme dan semangat para peserta sungguh luar biasa.

Pada part 1 ini, talk show dibawakan oleh dua narasumber hebat yaitu Pakar Pendidikan Karakter dan Penulis Buku Inspirasi Praktik Baik Pendidikan Karakter Berbasis Kelas dan Komunitas, Doni Koesoema A., M. Ed., serta Ifa Hanifah Misbach, S. Psi., M. A. Psikolog, Kepala Psikologi RS. Melinda 2 Bandung.

Pemaparan pertama tentang Menumbuhkan Karakter Melalui Pendekatan Personal disampaikan oleh Ifa Hanifah. Ifa mengajak peserta talk show, yang kebanyakan adalah kepala sekolah, guru, dan orang tua untuk melihat generasi subjek yang diajar. Ada lima generasi yang dapat kita perhatikan yaitu Baby Boomer (1946-1964), Gen X (1965-1980), Gen Y (Milenial, 1981-1996), Gen Z (1997-2012), dan Gen Alpha (2013 dst … ). Kali ini Ifa fokus membahas pada Gen Z karena Gen Z sekarang ada pada usia sekolah. 

Gen Z disebut Generasi yang minim batasan (Boundary Less Generation). Menurut David & Jonah Stillman (2017), generasi Z memiliki 7 karakter utama, yaitu:

  1. Phigital : Mereka tidak melihat perbedaan antara dunia fisik dan digital. Dunia mereka adalah dunia media sosial. 
  2. Fomo : (Fear Of Missing Opportunity) ketakutan saat tidak update sehingga muncul kecemasan.
  3. Hiper Kustomisasi : Mereka mampu mencari apa yang mereka butuhkan. Dalam dunia pendidikan kita tidak bisa menyeragamkan cara mengajar untuk Gen Z karena kebutuhan mereka berbeda-beda.
  4. Kompetitif : Karena FOMO, muncul sifat kompetitif pada Gen Z. Mereka takut kalah. 
  5. Weconomist : Mereka senang dengan kegiatan berkelompok dan senang mengetahui apa yang terjadi lewat media sosial.
  6. Do it your self (DIY) : Mereka senang ditantang untuk memakai caranya sendiri.
  7. Realistis : Mereka bisa terhubung dengan siapa saja di media sosial sehingga membentuk pola pikir global.

“Menurut Perhimpunan Psikolog Internasional, Gen Z merupakan generasi yang diprediksi sangat rentan stres. Mereka akan mudah stres saat menghadapi suatu hal yang nyata dan terlalu diprotect/ dilindungi”, papar Ifa Hanifah.

Ifa menjelaskan bahwa setiap orang terlahir ke muka bumi ini untuk melakukan sesuatu. Ketika kita melakukan sesuatu di bumi ini kita berinteraksi dengan manusia lain dan semua makhluk di bumi ini.

“Sebagai orang dewasa kita harus menstimulasi panca indra anak. Terimalah anak sebagai makhluk untuk mengenal dirinya terlebih dahulu. Pada usia 0-7 tahun, anak memiliki kemampuan berkehendak (willing). Kemampuan merasa (feeling) akan dialami anak pada usia 7-14 tahun. Di periode ketiga, usia 14-21 tahun, anak akan mampu berpikir (thinking),” jelas Ifa Hanifah.

“Mari kita kembalikan cara pendidikan karakter berbasis pada apa yang dibutuhkan anak manusia untuk tumbuh,” pesan Ifa.

Jika Ifa Hanifah memaparkan pendekatan pada generasi Z, Doni Koesoema memberikan penjelasan pendekatan secara Cura Personalis atau pendekatan personal. 

“Cura personalis sebenarnya perawatan jiwa-jiwa. Istilah ini sangat khas dengan bangsa Indonesia yang religius karena muncul dari dunia spiritual. Cura personalis berasumsi bahwa pendidikan spiritual adalah dasar dari pembentukan intelektual dan moral yang sehat”, ujar Doni Koesoema.

Di awal paparannya, Doni Koesoema memberikan gambaran sosok tokoh yaitu Ignatius Loyola, seorang bangsawan dari daerah Bask, Spanyol. Dia mendirikan organisasi keagamaan bernama Societas Iesu (SI) pada tahun 1540. Organisasi keagamaan ini terkenal dengan sebutan Yesuit yang banyak berkarya di dunia pendidikan. 

Paul Grender, seorang sejarawan yang khusus meneliti sekolah-sekolah dan universitas Yesuit pada tahun 1548-1773 menemukan fakta bahwa sampai 1749, Yesuit telah memiliki lebih dari 700 kolese dan universitas di Eropa. 

Mengapa sekolah yang dikelola Yesuit dapat berkembang dan bertumbuh selama hampir 500 tahun? Ternyata salah satunya mereka menerapkan Cura Personalis. Lalu, apa arti Cura Personalis?

Cura Personalis memiliki arti:

  1. Mengacu pada pendidikan yang utuh dan menyeluruh (holistik) yang memberikan perhatian pada pendidikan intelektual, moral, dan spiritual.
  2. Mengacu pada pendidikan yang menghormati dan menghargai kebutuhan khas dan keunikan identitas setiap siswa.
  3. Para pemimpin lembaga pendidikan (kepala sekolah, manajemen, administrator) memberikan perhatian pada kesejahteraan orang-orang yang bekerja di dalam lembaganya, sehat secara fisik, mental, psikologis, dan spiritual.

“Cura Personalis sangat relevan dengan sekolah-sekolah karena setiap guru mendampingi siswanya bertumbuh sesuai dengan perkembangannya. Bukan untuk membandingkan antar siswanya namun untuk melihat progres setiap anak,” papar Doni Koesoema.

Menurut Doni Koesoema, di masa pandemi, pemerintah memberikan kebebasan dalam memilih materi selama belajar daring. Cura personalis di masa ini juga harus lebih kuat karena di sinilah era guru mengenal siswa per siswa. Dalam konteks Cura personalis, kesehatan sangat penting. Bapak ibu guru dapat menanyakan situasi anak untuk mengenali persoalannya lalu menentukan apakah secara fisik anak ini sehat. Kesehatan fisik menjadi dasar dalam pembentukan karakter serta masuknya nilai-nilai luhur dan spiritual.

Ada banyak pertanyaan yang diajukan dalam talk show ini, salah satunya dari Ibu Mira dari Sumatera Selatan “Apakah ada trik jitu menghadapi karakter anak yang berbeda dalam satu kelas (41 orang)?” Doni Koesoema menjelaskan bahwa yang paling awal dilakukan adalah melihat wajah anak-anak dan mencatat perilaku/ karakternya. Bapak Ibu Guru dapat memberikan perhatian pada perkembangan individu. Ifa Hanifah menjelaskan cara menumbuhkan karakter melalui pendekatan personal pada jumlah murid yang banyak adalah melakukan koneksi sebelum memberikan koreksi. Artinya, kita harus mengetahui akar permasalahan di balik perilaku anak. Kata kuncinya adalah “Apakah saya sebagai pendidik dan orang tua hadir utuh untuk anak-anak?”

Banyaknya pertanyaan dan partisipasi aktif dari peserta membuat acara yang berlangsung hampir tiga jam ini terasa menyenangkan.

Talk show ini ditutup dengan closing statement dari Doni Koesoema dan Ifa Hanifah.

“Tema Cura personalis adalah sesi pertama dari lima rangkaian terkait Pendidikan karakter, mohon Bapak Ibu serius demi kebaikan anak-anak kita. Kami akan memberikan informasi praktik baik yang dapat digunakan. Mari ajak teman-teman untuk mengikuti talk show ini!” pesan Doni Koesoema.

“Banyak anak-anak Indonesia yang sampai tua tidak mengetahui potensinya ada di mana karena sedikit banyak berangkat dari orang tua atau guru yang tidak mampu mengetahui potensinya. Mari kita kawal dan lindungi jangan sampai anak-anak mendiami mimpi yang bukan mimpinya,” pesan Ifa Hanifah.

Terima kasih kepada Sobat Kupuku yang sudah mengikuti Part 1 serial talk show ini dengan antusias dan semangat yang luar biasa. Semoga talk show ini banyak membawa manfaat dan ilmu untuk Sobat semua ya. Sampai jumpa di Serial Praktik Baik Pendidikan Karakter Bersama Doni Koesoema A.: Mendidik Karakter Generasi Zaman Now Part 2.

Bagi Bapak/Ibu yang belum sempat menonton Part 1 silahkan klik link berikut untuk menonton rekaman videonya: https://www.youtube.com/watch?v=QpVr3VXFuF

Bagikan ke teman kamu

KUPUKU INDONESIA